Entah ini berlaku untuk semua kalangan atau hanya di daerah tertentu. Terkadang saya menganggap ini adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas kembalinya kita bisa berkumpul di malam 17 Agustus.Sore tadi ibu-ibu berkumpul untuk memasak berbagai menu. Riuh kebersamaan yang tak biasa terdengar setiap hari. Lalu bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak di malam tirakatan? Memastikan umbul-umbul terpasang sempurna serta menyiapkan berbagai keperluan untuk lomba esok hari.
Malam ini jalanan begitu padat sekelompok orang menyalakan obor menyuarakan lagu kemerdekaan. Begitu bersemangatnya hingga rasa lelah pun terelakkan bergantikan dengan tawa bahagia. Berpindah tepat di seberang jalan rombongan pembawa obor itu, saya memusatkan pandangan pada masjid ramai tak seperti biasanya. Perkumpulan pria usia senja yang berdoa bersama, jauh dari hingar bingar persiapan perayaan kemerdekaan. Tersirat di benak saya bahwa merekalah sebetulnya yang benar-benar merasakan atmosfer kemerdekaan sesungguhnya. Mereka jelas paham betul apa makna merdeka itu, meskipun mereka tak mampu lagi untuk mengikuti lomba balap karung.
Saya masih memperhatikan jalanan di malam minggu ini. Ternyata banyak juga yang tidak memperdulikan makna malam ini. Gurauan beberapa pemuda pemudi di lampu merah, tawanya begitu jelas memecah suara deru kendaraan. Gas ditariknya maksimal. Mereka mengarah ke kedai kopi, rupanya mereka sengaja berkumpul entah apa yang dibicarakan, saya hanya melihat kepulan asap rokok. Saya menghela napas dan kembali menjelajah dan ada pemandangan berbeda, saya mengerutkan dahi, meyakinkan kali ini saya tidak salah lihat. Taman Makam Pahlawan dihiasi karangan bunga. Betapa bekali-kali ingin rasanya berkata pada empunya makam "Tuan, terima kasih apapun yang telah kalian korbankan untuk kami, telah membuahkan hasil, seberapapun signifikansinya. Tuan, lihatlah, anak-anak tak lagi beradu dengan senapan penjajah saat mereka bermain. Andaikan Tuan masih mampu menyaksikan kami, betapa deras air mata bahagia yang menghiasi wajah tulusmu.
Saya kembali pulang. Gardu RT telah gagah berdiri menyambutku. Bendera plastik menjuntai bermeter-meter sejauh mata memandang. Di rumah ketua RT, tepat di depan rumah, beberapa kaum ibu menyerahkan setumpuk bingkisan, sedangkan bapak-bapak menyiapkan perlengkapan lomba. Saya pun membayangkannya esok kan menjadi hari yang penuh suka cita.
Saya memasuki ruang santai, televisi menyiarkan berita korupsi, eksploitasi sumber daya alam berlebihan di mana-mana. Sekejap saya berpikir kembali terlepas dari penting tidaknya acara ini digelar dengan berbagai kemeriahan lomba, pernahkah terlintas "aku sudah berbuat apa untuk negaraku" Negeri telah memberikan kita tempat bernaung, mengais rezeki dari kekayaan bumi. Pernahkah batin berteriak "Apakah aku telah memelihara negaraku, mensucikan merah putih dalam sanubari dengan tak berbuat hal tercela untuk bangsa dan negara?" Bukankah seharusnya kita semestinya menjaga apa yang telah diwariskan, menjaga dan mengoptimalkan potensi dengan bijak sebagai rasa syukur yang nyata? Ya, nyatanya kita butuh pendewasaan lagi untuk betul-betul memaknai kemerdekaan hingga 69 tahun ini.
Dirgahayu Indonesiaku, Jayalah Negeriku!Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang lebih cerdas, mandiri, dan kembali berkepribadian Pancasila. Amiiin...ini doa saya di malam tirakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar